Pengaruh Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial
Secara umum, diferensiasi dan stratifikasi sosial memberikan pengaruh positif dan negatif pada masyarakat. Pengaruh positifnya, diferensiasi dan stratifikasi sosial dapat mendorong terjadinya integrasi sosial, sedangkan pengaruh negatifnya adalah terjadinya disintegrasi sosial. Diferensiasi sosial dapat menimbulkan primordialisme, etnosentrisme, politik aliran, dan terjadinya proses konsolidasi.
Primordialisme
Salah satu konsekuensi dari adanya
diferensiasi sosial adalah terjadinya primordialisme. Primordialisme merupakan
pandangan atau paham yang menunjukkan sikap berpegang teguh pada hal-hal yang sejak
semula melekat pada diri individu, seperti suku bangsa, ras, dan agama. Istilah
primordialisme berasal dari kata Bahasa Latin “primus” yang artinya pertama dan
“ordiri” yang artinya tenunan atau ikatan. Dengan demikian, kata primordial
(isme) dapat berarti ikatan-ikatan utama seseorang dalam kehidupan sosial,
dengan hal-hal yang dibawanya sejak lahir seperti suku bangsa, ras, klan, asal
usul kedaerahan, dan agama.
Etnosentrisme
Primordialisme yang berlebihan juga
akan menghasilkan sebuah pandangan subjektif yang disebut etnosentrisme atau
fanatisme suku bangsa. Etnosentrisme adalah suatu sikap menilai kebudayaan
masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku di masyarakatnya.
Karena yang dipakai adalah ukuran-ukuran masyarakatnya, maka orang akan selalu
menganggap kebudayaannya memiliki nilai lebih tinggi daripada kebudayaan
masyarakat lain.
Politik Aliran (Sektarian)
Politik aliran merupakan keadaan di mana sebuah kelompok atau organisasi tertentu dikelilingi oleh sejumlah organisasi massa (ormas), baik formal maupun informal. Tali pengikat antara kelompok dan organisasi-organisasi massa ini adalah ideologi atau aliran (sekte) tertentu. Contohnya, partai politik PKB yang dikelilingi oleh ormas-ormas NU.
Pengaruh lain dari diferensiasi dan stratifikasi
sosial adalah proses konsolidasi. Konsolidasi berasal dari kata “consolidation”
yang berarti penguatan atau pengukuhan. Konsolidasi memiliki dua sisi, yaitu
sisi ke dalam dan sisi keluar. Konsolidasi dengan sisi ke dalam akan memperkuat
solidaritas ke dalam suatu organisasi atau himpunan. Sebaliknya, konsolidasi
dengan sisi keluar dapat menimbulkan sikap antipati dan kecurigaan terhadap
organisasi lain.
Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian
Konflik
Kata “konflik” berasal dari bahasa
Latin “configure” yang artinya saling memukul. Dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), konflik didefinisikan sebagai percekcokkan, perselisihan,
atau pertentangan. Dengan demikian, secara sederhana, konflik merujuk pada
adanya dua hal atau lebih yang berseberangan, tidak selaras, dan bertentangan.
Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok)
yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau
membuatnya tidak berdaya. Berikut beberapa pengertian konflik sosial menurut
para ahli Klik di Sini
Konflik lahir dari kenyataan akan
adanya perbedaan-perbedaan, misalnya perbedaan ciri badaniah, emosi,
kebudayaan, kebutuhan, kepentingan, atau pola-pola perilaku antarindividu atau
kelompok dalam masyarakat. Menurut Ralf Dahrendorf, masyarakat terdiri atas
organisasi-organisasi yang didasarkan pada kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan
adalah dominasi satu pihak terhadap pihak lain berdasarkan paksaan, sedangkan
wewenang adalah dominasi yang diterima dan diakui oleh pihak yang didominasi.
Dahrendorf menamakan kondisi itu sebagai “imperative coordinated associations”
(asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa). Kepentingan yang berbeda antara
kedua belah pihak berbeda dalam asosiasi-asosiasi tersebut akan menimbulkan
polarisasi dan konflik antara kedua kelompok.
Perbedaan-perbedaan dalam masyarakat
akan memuncak menjadi konflik ketika sistem sosial masyarakatnya tidak dapat
mengakomodasi perbedaan-perbedaan tersebut. Dalam hal ini, Soerjono Soekanto
mengatakan bahwa “perasaan” memegang peranan penting dalam mempertajam
perbedaan-perbedaan tersebut. Perasaan-perasaan seperti amarah dan rasa benci,
mendorong masing-masing pihak untuk menekan atau menghancurkan individu atau
kelompok lawan. Sementara itu, menurut De Moor, sistem sosial dapat dikatakan
mengandung konflik hanya jika para penghuni sistem tersebut membiarkan dirinya
dibimbing oleh tujuan-tujuan (atau nilai-nilai) yang bertentangan dan terjadi
secara besar-besaran.
Lewis A. Coser menyatakan bahwa
konflik terbuka lebih umum terjadi pada hubungan-hubungan sosial yang parsial
daripada hubungan-hubungan yang personal dan intim. Meskipun demikian,
perbedaan atau perselisihan dalam hubungan sosial yang intim juga dapat
berpotensi konflik yang sewaktu-waktu dapat meledak dan lebih menghancurkan
daripada konflik yang terjadi dalam hubungan sosial parsial.
SUMBER :
https://sosiologi79.blogspot.com/2017/11/materi-sosiologi-kelas-xi-bab-41.html
Bermanfaat sekali pa...
BalasHapus