Virus Covid-19 benar-benar tidak mengenal tempat dan orang. Siapapun bisa tertular oleh virus covid-19 ini, mau itu kalangan pejabat, kalangan masyarakat bawah, bahkan kalangan orang-orang yang sangat memperhatikan kesehatanpun bisa terkena juga. Contohnya saya dan isteri saya.
Artinya, virus covid-19 ini tidak pilih-pilih orang. Orang-orang yang sehari-harinya menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat pun bisa kena, apalagi yang tidak sama sekali menerapkan protokol kesehatan dalam kesehariannya lebih beresiko kena.
Mungkin sama dengan orang yang kasusnya seperti kami berdua, kami berdua heran kok bisa terkena covid-19 ? Padahal kami selalu menerapkan protokol kesehatan dalam keseharian kami. Bahkan saya sendiri sudah mendapatkan vaksin dua kali
Pada artikel kali ini saya akan menceritakan sebuah perjalanan hidup kami berdua, saat harus berjuang melawan covid-19 di rumah sakit. Bagaimana susahnya mencari ruangan isolasi di rumah sakit ? Sedihnya harus melewati masa kritis ? dan Bagaimana takutnya berjuang antara hidup dan mati melawan covid-19 ?
Baca Juga : 6 Pelajaran Berharga dari Podcast Deddy Corbuzier Bersama Azka
1. Awal Mula Divonis Positif Covid-19
Sebelum divonis covid-19, hari Jumat, tanggal 9 Juli 2021, imun kami berdua tiba-tiba turun. Badan meriang, seluruh persendian terasa sakit dan ngilu, sakit kepala, dan sedikit ada batuk. Kami berdua mengira kalau kami terkena masuk angin.
Gejala saya dan isteri agak berbeda. Saya relatif bergejala ringan, sementara isteri selain meriang, sendi-sendi badan dan kepala sakit, juga ada rasa sakit dibagian ulu hati, yang menyebabkan isteri saya ada mual dan muntah. Pada waktu itu saya masih positif thinking kalau kami hanya masuk angin dan sakit maag biasa aja, karena tidak ada gejala sesak nafasnya. Namun, di hari kedua, tepatnya tanggal 10 Juli 2021, mual dan muntah isteri saya bukannya menurun malahan semakin kuat. Saya mulai curiga kalau isteri terkena covid-19, dan benar saja pada pagi hari tepat tanggal 11 Juli 2021, saat dibawa ke rumah sakit, isteri saya dinyatakan positif covid-19. Pada waktu itu dokter memberikan dua pilihan, dirawat di rumah sakit atau isolasi mandiri di rumah. Saya memilih isolasi mandiri di rumah, selain kamar isolasi di rumah sakit saat itu penuh, juga pertimbangan lainnya adalah saturasi oksigennya masih bagus, dan tidak ada sesak nafas.
2. 4 (Empat) Rumah Sakit Kami Datangi
Tanggal 13 Juli 2021, tepatnya malam Rabu, istri saya kembali dibawa ke rumah sakit. Karena kondisinya semakin menurun. Saya harus berjuang mencari rumah sakit yang ruang isolasinya tersedia. Namun, dari rumah sakit kedua dan ketiga yang saya kunjungi, semuanya penuh. Bahkan, saat di rumah sakit kedua, belum juga masuk IGD, kami sudah ditolak duluan dengan alasan ruangan IGD penuh.
Saya sendiri baru dinyatakan positif setelah dites swab oleh dokter dari puskesmas setelah isteri pulang dari rumah sakit ketiga. Dua hari setelah itu, barulah saya sendiri juga merasakan beberapa gejala terkena covid-19, penciuman dan rasa mulai hilang, flu berat, dan kepala pusing. Di saat yang bersamaan, kondisi isteri semakin menurun. Akhirnya di Malam Jumat, tanggal 15 Juli 2021, kami berdua dibawa ke rumah sakit yang keempat dan alhamdulilah dapat penanganan di IGD.
3. 6 Hari Berjuang Melawan Covid-19
Di hari pertama kami berdua ditangani di ruang IGD, baru di hari kedua kami dapat kabar bahwa kami akan segera masuk ruang perawatan. Bahwa anggapan saya dan isteri akan dirawat di ruangan yang sama ternyata tidak terwujud, kami berdua harus dirawat di ruang isolasi yang berbeda.
Apa mungkin efek dari sudahnya saya divaksin dua kali, setelah menerima obat-obatan, kondisi saya langsung seperti kembali normal. Penciuman dan rasa kembali ada, pusing kepala sudah hilang, hanya sedikit persendian yang sakit. Yang bikin saya sedih dan khawatir saat berada di rumah sakit adalah kondisi isteri saya. Saya tidak tahu kondisi isteri saya seperti apa, komunikasi lewat HP pun kurang bagus karena terkendala sinyal.
Di hari ketiga saya sempat meminta ke perawat untuk diizikan bertemu isteri di ruangannya, tapi ditolak. Perasaan saya saat itu rasanya berbeda, seperti terjadi sesuatu pada diri isteri saya. Saya pun bertanya ke perawat mengenai kondisi isteri, jawabannya cukup kalimat “isteri Bapak baik-baik saja. Jawaban dari perawat tidak membuat hati tenang, justru semakin dag dig dug.
Tepat pukul 9.30, di malam ketiga, perawat datang ke ruangan dan menyampaikan kepada saya kalau isteri ingin bertemu saya. Masih dengan implusan ditangan, saya pun di bawa ke ruang perawatan isteri saya. Saat lihat isteri saya yang terbaring di tempat tidur dengan bantuan oksigen, di saat itu juga, perasaan saya pecah, benar-benar berada pada situasi yang belum pernah saya rasakan. Saya menangis karena melihat kondisi isteri saya yang berada pada fase yang sangat kritis. Saya peluk isteri saya dalam keadaan yang sangat lemah.
Saya melihat kondisi isteri dengan keadaan kepalanya yang sangat sakit, dada seperti ada yang menekan, ulu hati juga sakit, mual, muntah, dan yang paling saya takutkan adalah sesak nafasnya. Semua obat pereda sakit sudah diminumnya, tapi tidak mengurangi rasa sakitnya. Saat itu saya sempat berpikir mungkinkah malam ini hari terakhir saya bersama isteri saya. Isteri saya baru bisa tidur, setelah diberi obat penenang oleh perawat.
Fase kritis tidak berhenti dihari ketiga, di hari keempat isteri saya masih harus berjuang lepas dari sesak nafas yang luar biasa, dan merasakan sakit kepala yang sangat hebat. Baru dihari keenamlah, kondisinya semakin baik, hanya saja sesak nafasnya masih ada.
Dihari keenam, kami pun pulang dan melanjutkan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari. Alhamdulilah kondisi saya cukup baik, tapi untuk kondisi isteri masih belum melewati pada fase baik. Karena saat pulang saya melihat isteri saya masih ada sesak nafasnya. Sampai dua hari di rumah setelah enam hari dirawat, isteri saya masih harus tergantung pada bantuan oksigen.
Baca Juga : Belajar Berbuat Baik dari Film Bajrangi Bhaijaan
Kabar kalau ketersediaan oksigen di masyarakat tidak ada, benar-benar nyata saya rasakan. Tapi syukur alhamdulilah banyak orang yang mau membantu mencarikannya.
Setelah melakukan isolasi mandiri selama 14 hari akhirnya kami berdua dinyatakan sehat oleh dokter puskesmas. Tapi saya merasa recovery selama 14 hari itu tidak cukup, terlebih bagi mereka yang punya penyakit penyerta. Selama sebulan Isteri saya masih ada rasa capek yang luar biasa. Jalan beberapa meter saja sudah sangat capek, bahkan sesekali ada sedikit sesak.
Kalau saya sendiri merasakan ada penurunan fokus dan konsentrasi selama sebulan itu. Rasa capek ada tapi tidak terlalu seperti isteri saya. Namun, yang pasti saya bersyukur setelah hampir mau dua bulan dari sembuh, kondisi kami udah bisa dikatakan sangat stabil
4. Terima Kasih Perawat
Ada perbedaan cara merawat pasien biasa dengan pasien covid-19, untuk pasien covid-19, perawat tidak seperti perawat untuk pasien biasa. Perawat tidak ada setiap saat kalau sedang dibutuhkan. Mereka datang sesuai jadwal yang ada.
Kalau masalah perhatian dalam merawatnya, mereka sangat perhatian banget terhadap semua pasien. Mungkin alasan keterbatasan perawat yang membuat waktu perawatan sangat terbatas.
Saya mengucapkan terima kasih buat perawat yang dengan sabar membantu saya terutama isteri untuk sembuh dari penyakit covid-19. Saya tidak tahu siapa mereka, karena tiap harinya menggunakan APD lengkap. Semoga bantuan mereka menjadi amal yang baik.
5. Nyatanya Kekuatan Doa
Selain karena perawatan dan dibantu dengan meminum obat-obatan, ada hal lain yang menurut saya tidak boleh dilupakan yaitu kekuatan doa. Sejak dihari pertama masuk rumah sakit, saya meminta kepada keluarga, sahabat, dan murid untuk selalu mendoakan kami berdua.
Dan benar kekuatan doa itu nyata adanya, saya dan isteri merasakan semua itu. Percaya atau tidak isteri jadi lebih tenang saat meminum air. Isteri juga bercerita kepada saya, dihari ketiga saat benar-benar kritis, Ia didatangi oleh seseorang sambil mengatakan “kamu belum saatnya”. Isteri saya juga mengatakan Ia melihat orang-orang sedang membacakan al-quran, khusus buat dirinya.
6. Serba Pertama Kali
Masuk rumah sakit, lalu dirawat, kemudian diimplus semuanya pengalaman pertama dalam hidup. Berbeda dengan isteri yang sudah terbiasa diimplus, karena Ia beberapa kali harus dirawat di rumah sakit.
Pengalaman kedua adalah sedihnya berlebaran Idul Adha. Disaat keluargal lainya bertakbir di rumah, disaat yang bersamaan saya dan isteri harus terbaring di rumah sakit. Keheningan ruangan di rumah sakit semakin menambah kesedihan kami berdua.
7. Pelajaran Yang Bisa Diambil
Pengalaman saya dan isteri yang harus menerima ketentuan Allah terkena covid-19, ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil, yaitu :
- Siapapun bisa kena covid-19. Orang-orang yang sehari-harinya menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat pun bisa kena, apalagi yang tidak sama sekali menerapkan protokol kesehatan dalam kesehariannya lebih beresiko kena. Makanya hiduplah dengan perilaku hidup yang bersih dan sehat
- Kekuatan doa nyata adanya, semua itu benar-benar kami rasakan.
- Selalu berbuat baiklah pada setiap orang, agar ketika kita membutuhkan sesuatu, akan dimudahkan.
Foto Bersama Isteri |
Terima kasih, semoga pengalaman ini sangat bermanfaat. Dan saya berharap pengalaman ini menjadi yang pertama dan terakhir.
Baca Juga :
Sehat selalu Pak Hamdan sekeluarga, saya ga bisa bayangkan sepi sunyi sendiri cuma dengar cairan infus netes, penuh frustasi pasti pengen cepat keluar rumah sakit tapi apa daya :') Semoga selalu sehat dan bahagia ya Pak :D
BalasHapusIni pengalaman saya yang pertama,,, tapi alhamdulilah berkat doa semuanya, saya bisa melewati itu semua
HapusUwaaaah,bener sekali Pak Hamdan. Siapa pun bisa kena COVID-19 ini :3. Ada temenku yang udah nerapin prokes, nggak keluyuran tapi bolak/ik dia kena COVID-19. Sehat selalu Pak Hamdan sekeluargaaa.
BalasHapusAmin,, terima kasih doanya
HapusmasyaAllah, jadi pengalaman berharga ya pak. semoga sehat selalu pak Hamdan dan keluarga..
BalasHapusAmin
Hapus