Tanggal 2 Mei 2022 kemarin umat Islam telah merayakan kemenangan setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa. Kemenangan yang dimaksud adalah perayaan Hari Raya Idul Fitri atau lebih dikenal dengan istilah Hari Lebaran.
Ucapan Minal Aidzin Wal Faizin, Mohon Maaf Lahir Bathin merupakan kalimat yang sering diucapkan saat momentum Lebaran tiba. Hampir setiap orang tidak mau melewatkan untuk mengucapkan kalimat tersebut. Karena ucapan itu sebagai refleksi diri bahwa di dalam hari lebaran itu mengandung makna untuk saling memaafkan dan menjalin persaudaraan.
Selain tradisi saling mengucapkan selamat lebaran, ada tradisi lain yang menjadi rutinitas paska lebaran yakni kegiatan Halal Bihalal. Karena ritual Halal Bihalal ini sarat dengan waktu yang tepat untuk saling memaafkan, maka tidak ada salahnya Halal Bihalal ini bisa dijadikan sebagai ajang untuk menguatkan silaturahmi atau menyambungkan kembali jalinan silaturahmi yang sudah putus. Bahkan Halal Bihalal ini bisa menjadi momen yang tepat untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka menurunkan tensi konflik yang sedang terjadi di antara individu atau kelompok.
Awal Mula Halal Bihalal
Ada yang tahu kapan tradisi Halal Bihalal ini ada ? Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Di banyak negara Islam sebenarnya tidak dikenal istilah halal bihalal. Namun, halal bihalal sudah membudaya di Indonesia dan dirintis sejak 1947 oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Halal bi halal menjadi penyambung tali silaturahim yang sudah menjadi tata cara kehidupan bangsa Indonesia. Saling menghalalkan, saling melepaskan ikatan, dan mencairkan hubungan yang membeku.
Makna Halal Bihalal
Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti “baikâ”. Dalam pengertian kedua, kata “halal” terkait dengan status kelayakan sebuah makanan.
Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi).
Dengan melakukan berhalal bihalal menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya renggang dan berselisih menjadi "halal" dengan dimensi teologis yang paling puncak, yaitu menghadirkan rasa empati dan kedamaian.
Ritual halal bihalal selama Idul Fitri, menciptakan kehangatan dan ketulusan sosial. Menyadari kekurangan, dengan sungguh-sungguh melakukan introspeksi dan saling memaafkan sebagai pengakuan bahwa tidak ada orang yang sempurna.
Halal Bihalal Sebagai Sarana Resolusi Konflik
Substansi dari Halal Bihalal adalah saling memaafkan. Maka dari itu Halal Bihalal ini bisa menjadi momen yang pas dan tepat untuk mengakui dan menyadari akan semua kesalahan kita. Kemudian ikhlas memaafkan kesalahan orang lain dan berani meminta maaf atas segala kesalahan yang kita lakukan kepada orang lain.
Maka dari itu, Halal Bihalal bisa dijadikan sebagai sarana atau media resolusi konflik bagi mereka yang saat ini sedang bersitegang dengan lawan konfliknya.
Sebagai mahkluk sosial tentu kita akan berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Dan pastinya saat kita melakukan proses interaksi tersebut tidak akan selamanya bersifat positif, sudah pasti proses interaksi yang mengarah kepada negatif pun bisa saja terjadi.
Salah satu interaksi yang berbentuk negatif itu adalah konflik. Nah, ketika interaksi dengan orang lain tersebut berada pada situasi konflik dan tidak sedang baik-baik saja, maka diperlukan cara untuk menyelesaikan konflik tersebut. Cara atau usaha untuk mengurangi serta menyelesaikan konflik yang ada itulah yang disebut dengan istilah resolusi konflik.
Pada hakikatnya resolusi konflik pun dipandang sebagai upaya penanganan sebab-sebab konflik dan penyelesaian konflik dengan menciptakan hubungan baru yang bisa bertahan lama dan positif di antara kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang bermusuhan.
Sementara dalam pelaksanaan resolusi konflik diperlukan sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan itu seperti membangun orientasi, menciptakan persepsi untuk menghargai perbedaan, kecerdasan emosi, kapasitas berkomunikasi, berpikir kreatif, dan berpikir kritis.
Menurut Ralf Dahrendorf ada 3 bentuk resolusi konflik :
Pertama, Konsiliasi, yakni pengendalian konflik dengan cara semua pihak yang terlibat berdiskusi guna mencapai kesepakatan tanpa ada pihttps://m.republika.co.id/amp/nacbod14hak ketiga yang memaksa atau memonopoli pembicaraan.
Kedua, Mediasi, yakni upaya pengendalian konflik yang menggunakan pihak ketiga seperti ahli atau pakar, lembaga, tokoh sebagai mediator, yang memberi nasihat atau saran, tetapi bukan pemberi keputusan.
Ketiga, Arbitrasi, yakni resolusi konflik dengan kedua belah pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang bersifat legal dari arbiter sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan konflik.
Berbagai bentuk Resolusi konflik itu tentu akan lebih mudah diterapkan apabila dilaksanakan pada momentum yang tepat pula. Dan salah satu momentum yang paling pas untuk melakukan resolusi konflik adalah melalui sarana halal bihalal. Setelah diuji dan dilatih menahan hawa nafsu selama sebulan, maka melalui halal bihalal ini kesucian setiap individu lebih disempurnakan lagi dengan saling memaafkan, sehingga konflik yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar