Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di sana disebutkan bahwa tujuan dari pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentu saja untuk mewujudkan tujuan Pendidikan tadi, perlu adanya dukungan dari semua pihak dan terpenuhinya sarana prasarana pendukung lainnya. Akan tetapi bukan hanya dukungan secara materil, tetapi dukungan moril psikologis pun sangat dibutuhkan.
Sarana prasarana yang komplit memang bukan satu-satunya syarat terwujudnya peserta didik yang berkarakter. Ada hal yang sering dilupakan yaitu kenyamanan psikologis atau mungkin istilahnya sekarang Sekolah Ramah Anak.
Diharapkan dengan sekolah ramah anak, para peserta didik akan lebih nyaman belajar, bersosialisasi dan berinteraksi di sekolah. Namun, masih ada situasi sebaliknya, sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman, justru menjadi tempat yang tidak nyaman bahkan menakutkan.
Ada tiga prilaku atau perbuatan yang sering terjadi di sekolah, yang seharusnya tidak boleh terjadi. Kalau meminjam istilah Mas Menteri, ketiga hal itu disebut dosa besar dalam dunia pendidikan.
Perundungan
Perundungan atau bullying adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati dan tertekan baik dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok.
Perundungan dianggap telah terjadi bila seseorang merasa tidak nyaman dan sakit hati atas perbuatan orang lain padanya.
Sekolah yang dianggap tempat paling aman bagi anak-anak, justru sebagai salah satu tempat yang dijadikan untuk praktek perundungan. Hal ini yang menjadi alasan kenapa perundingan disebut sebagai salah satu dosa besar pendidikan.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman bagi anak-anak, justru menjadi tempat banyak ditemukannya kasus perundungan atau pembullyan. Bahkan, perundungan ini banyak memakan korban, baik korban nyawa atau korban psikis di kalangan siswa.
Intoleransi
Intoleransi adalah kata yang memiliki makna negatif dan merupakan lawan dari kata toleransi. Berbanding terbalik dengan intoleransi, kata toleransi memiliki arti positif, yakni sikap atau perilaku toleran.
Secara istilah, toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai antarindividu atau antarkelompok lingkungan masyarakat tertentu. Sikap toleransi harus dikedepankan dalam kehidupan untuk menghadapi perbedaan.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa intoleransi adalah sikap yang tidak seharusnya ada dalam diri. Intoleransi adalah sikap abai atau rasa ketidakpedulian terhadap eksistensi orang lain.
Sikap intoleransi seringkali tidak manusiawi sehingga memicu konflik dan kebencian atas sebuah perbedaan. Orang intoleransi akan dengan mudahnya tidak menghargai dan merendahkan orang lain.
Orang intoleransi juga bersikap egois dengan enggan mendengarkan orang lain dan hanya ingin dirinya yang didengarkan.
Disinilah pendidikan lewat lembaganya, memiliki peranan yang vital dalam mencegah terjadinya intoleransi, dengan senantiasa memberikan pemahaman tentang pentingnya sikap toleransi kepada peserta didik.
Namun, lagi-lagi sekolah yang semestinya zero intoleransi, justru masih ditemukan praktek intoleransi yang dilakukan siswa kepada siswa yang lain. Anak-anak belum memahami apa arti sebuah perbedaan. Yang lebih miris, ada sebagian pemangku jabatan di lembaga tersebut justru membuat kebijakan yang terindikasi ada intoleransi di dalamnya.
Kekerasan Seksual
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Inilah dosa ketiga yang sering terjadi di dunia pendidikan. Menurut siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU) 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual yang telah diadukan pada tahun 2021. Perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam kasus kekerasan seksual antara tahun 2015-2021.
Dari penjelasan di atas, bagaimana tidak menakutkan, jika sekolah atau lembag pendidikan yang memiliki tugas memberikan kenyamanan kepada peserta didik, malah bertindak sebaliknya, yakni melakukan kekerasan seksual.
Bahkan, yang membuat kita marah dan mengelus dada adalah ketika kita tahu bahwa pelaku dari tindakan kekerasan seksual di lembaga pendidikan tersebut adalah gurunya sendiri. Sosok yang seharusnya menjaga sekaligus tempat berlindung bagi anak didiknya.
Itulah dosa besar dunia pendidikan yang harus segera diselesaikan oleh semua stakeholder yang ada di dunia pendidikan. Kalau masih ketiga dosa besar tersebut ditemukan, itu alarm buat pemangku jabatan bahwa lembaga pendidikannya bukan lembaga yang ramah anak dan aman bagi peserta didiknya.
Referensi :
- https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/stop-perundungan
- https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/edu/detikpedia/d-6252541/pengertian-intoleransi-dan-contoh-sikapnya/amp
- https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/kekerasan-seksual/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar